top of page

Pendekatan Partisipatoris di kelas daring, mungkinkah?

Updated: Oct 8, 2021

"Ketika awal-awal mengubah model pembelajaran dari kelas tatap muka menjadi kelas daring, jujur aja sebenarnya saya diterpa keraguan apakah pelatihan daring yang saya fasilitasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatoris."

Dalam program-program pendidikan HAM dan transformasi konflik yang saya geluti, aspek relasi antar pribadi (inter-personal) sangatlah penting. Mengajarkan HAM bukan hanya tentang hukum, mekanisme, dan pasal-pasal, tetapi tentang nilai-nilai dan rasa empati dan mendorong pada proses penguatan dan pemberdayaan. Oleh karena itu sejak awal saya saya sudah memilih pendekatan partisipatoris sebagai pendekatan pembelajaran.


Namun ketika pagebluk menerpa dan semua harus berubah menjadi jarak jauh, saat itu saya berpikir apakah kelas daring bisa dipakai untuk kerja-kerja pelatihan dengan pendekatan partisipatoris? Bagaimana mendorong keterlibatan peserta? Apakah kelas daring mampu memberdayakan dan memberi ruang bagi korban untuk bersuara? Apakah mampu memberikan suasana emosional bagi peserta dan memungkinkan untuk menyampaikan pengalaman langsung antar pribadi?




Pendekatan Partisipatoris pada intinya memberikan kesempatan kepada peserta untuk terlibat dalam memutuskan bagaimana sesuatu dilakukan di dalam proses pembelajaran. Istilah "partisipatoris" banyak digunakan sebagai jargon politik, bahasa program, hingga template bagi kerangka pelatihan dan pendidikan. Namun kita agaknya jarang merenung-renungkan bagaimana pendekatan 'partisipatoris' ini dijabarkan dalam disain pembelajaran di komunitas, menggantikan model top-down yang umum digunakan dalam model kuliah di kampus dan di sekolah. Di komunitas, pelatihan diselenggarakan bukan hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja, tapi misinya adalah mendorong penyadaran, pemberdayaan, bahkan pembebasan.

"Partisipatoris" bukan hanya memastikan orang berpartisipasi dengan berbicara saja. Kuncinya adalah terlibat dalam pengambilan keputusan. Jadi menambahkan lebih banyak diskusi selama proses pelatihan belumlah cukup. Harusnya lebih dalam dari itu. Kalau kita membayangkan sebuah pelatihan, untuk bisa dikatakan partisipatoris maka sekurang-kurangnya ada tiga ciri utama yang harus kita lakukan:

  • Dimulai dengan pengalaman peserta

  • Menganalisis dan merefleksikan pengalaman-pengalaman peserta tersebut secara kritis dalam proses pembelajaran

  • Mengembangkan strategi tindakan yang sesuai dengan masalah yang dihadapi peserta

Ciri-ciri ini semestinya juga berlaku di dalam kelas-kelas daring yang kita rancang. Namun bagaimana kita hendak memastikan agar pendekatan partisipatoris tersebut tercermin dalam disain pembelajaran kita?


Di komunitas, pelatihan diselenggarakan bukan hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja, tapi misinya adalah mendorong penyadaran, pemberdayaan, bahkan pembebasan.

Tulisan ini adalah bahan-bahan perenungan saya tentang bagaimana mencari jalan agar prinsip ini bisa diwujudkan dengan sebaik-baiknya dalam proses pembelajaran.


1. Didik dan Latih fasilitator agar terbiasa dengan pendekatan partisipatoris

Sebelum mulai mendidik peserta, maka didik dan latihlah fasilitator-fasilitator untuk kelas daring kita agar mampu memegang prinsip partisipatoris. Banyak orang hebat dalam penggunaan perangkat online learning tetapi tidak memiliki keterampilan memfasilitasi pelatihan atau workshop secara partisipatif. Atau sebaliknya, ada pendidik yang partisipatif namun tidak punya keterampilan menggunakan perangkat daring. Karena itu siapkan tim fasilitator kita agar memiliki kedua kapasitas tersebut.


2. Berikan waktu yang cukup

Pendekatan partisipatif biasanya membutuhkan waktu lebih lama dalam prosesnya karena harus memberikan kesempatan pada peserta untuk lebih banyak berbagi. Selain itu fleksibilitas dan kesempatan untuk mencerna sangat penting. Tekanan waktu biasanya menjadi alasan mengapa pendekatan ini sulit digunakan dalam webinar. Kelas virtual sinkron bisa memberi ruang partisipasi, namun sangat terbatas. Karena itu, metode asinkron harus dibangun untuk mendukung pembelajaran akibat keterbatasan waktu. Kombinasi ini juga membantu memberikan kedalaman analisis, kesempatan refleksi, serta mengembangkan strategi untuk bertindak.


3. Bangun Metode yang Memberdayakan

Salah satu shortcut yang sering saya lakukan adalah merancang kegiatan yang "seakan-akan" partisipatif dengan mengajukan pertanyaan, atau minta peserta berdiskusi dalam kelompok kecil (agar semua orang bisa bicara) dan kemudian melaporkan kembali. Ini terlalu biasa dan mudah, tapi saya merasa ini sebenarnya bukanlah cara untuk mencapai tingkat partisipasi tersebut.


Fokus dari pendekatan partisipatoris adalah "peserta melakukan dan memutuskan untuk terlibat." Memang benar bahwa berbicara adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Namun itu belum cukup. Untuk mampu melakukan, peserta membutuhkan pembelajaran ke tingkat yang jauh lebih tinggi – yakni tingkat pemberdayaan dan kemampuan untuk melihat dan membuat perbedaan.

4. Pembelajaran berbasis masalah

Membangun metode yang mendorong pada proses pemecahan masalah adalah jalan bagi peserta agar mampu "memutuskan untuk terlibat". Mereka bisa menggunakan pengalaman praktis mereka sendiri dan secara alami memutuskan untuk terlibat dalam proses perubahan.


5. Kerangka kerja kolaboratif “Pembelajaran kolaboratif” adalah istilah umum untuk berbagai pendekatan pendidikan yang melibatkan tindakan intelektual secara bersama-sama. Biasanya, peserta bekerja dalam kelompok, dua orang atau lebih, berdialog dan mencari pemahaman, menemukan solusi atau makna dari proses belajar bersama, atau menciptakan suatu produk yang dapat dimanfaatkan bersama. Kerja kolaboratif daring sangat mungkin dilakukan asalkan kerangka tugas dan perangkatnya dipikirkan dengan baik dan dijalankan secara asinkron. Kelas sinkron bisa saja, tapi biasanya tidak optimal untuk kerja kolaboratif yang membutuhkan internalisasi.



Pada intinya, para pendidik yang menekuni model Pembelajaran tatap muka, pembelajaran campuran, ataupun eLearning murni pastilah tahu bahwa lingkungan dan konteks pembelajaran di antara ketiga model tersebut sangat berbeda. Namun demikian, pendekatan partisipatoris sebagai pendekatan belajar dapat digunakan untuk setiap model tersebut dan dapat disesuaikan dengan beragam jenis pelatihan. Misalnya, kuliah tatap muka dengan ceramah yang melelahkan dapat diubah menjadi simulasi yang sangat menarik, demikian juga diskusi kelompok dapat didesain ulang dengan menambahkan fitur studi kasus, debat pro-kontra, ataupun bermain peran.

Yang harus diingat adalah, kita tidak bisa begitu saja menjejali materi kepada peserta (misalnya dengan PowerPoint yang masif) tanpa menciptakan ruang pengalaman dan partisipatif peserta untuk terlibat dengan konten yang dibahas, sehingga mereka dapat memperdebatkannya dan mengembangkan pemahaman mereka sendiri. Di sinilah kejelian para perancang pembelajaran dibutuhkan untuk memeriksa terus-menerus sejauhmana pendekatan partisipatoris tercermin dalam dalam proses dan muatan pembelajaran. Mari kita mulai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini sebagai reminder atau pengingat:

  1. Sudahkah kita memeriksa cara terbaik untuk menyampaikan tujuan pelatihan kepada peserta dan mendapat umpan balik dari mereka?

  2. Apakah kita menyediakan ruang untuk berbagi pengalaman peserta?

  3. Apa hal-hal yang hendak digali dari pengalaman peserta?

  4. Bagaimana masalah dipetakan dan dijadikan bahan pembelajaran?

  5. Apakah ada tugas atau aktivitas yang kita susun berorientasi pemecahan masalah untuk membuat peserta memiliki pengalaman langsung?

  6. Apakah sesi tanya jawab digunakan untuk memicu refleksi dan perdebatan antara peserta?

  7. Apakah refleksi dan evaluasi hanya digunakan untuk menilai pemahaman mereka di akhir sesi atau pelatihan?

  8. Jika kita menggunakan Slide PowerPoint dalam sesi, apakah presentasi kita memasukkan pertanyaan-pertanyaan reflektif, contoh kasus, diskusi kelompok kecil, atau tugas kolaboratif?

  9. Bisakah kita menggunakan studi kasus atau simulasi terkait dengan latar belakang peserta untuk menyoroti relevansi pembelajaran dengan realitas masalah yang dihadapi peserta? bagaimana caranya?

  10. Apakah metode yang kita rancang memungkinkan peserta berinteraksi dan belajar satu sama lain melalui ruang virtual sinkron maupun ruang percakapan asinkron?

  11. Apakah desain yang kita bangun memungkinkan interaksi antara peserta dan kita sebagai fasilitator dan memungkinkan pemantauan terus-menerus terhadap proses pembelajaran?

  12. Apakah kita memberi kesempatan bagi peserta untuk merancang jalan perubahan yang sesuai dengan masalah yang mereka geluti?

  13. Apakah kita sebagai fasilitator sudah memberikan perhatian dan umpan balik yang memadai bagi gagasan, hasil kerja, dan rancangan strategi yang mereka bangun?


Kommentare


bottom of page